TAPSEL.WAHANANEWS.CO, Sumatera Utara- Menutup tahun 2025, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) menilai Indonesia tengah bergerak menuju kehancuran ekologis permanen akibat kebijakan negara yang dinilai abai terhadap lingkungan. Hal tersebut disampaikan Ketua DPW SHI Sumatera Utara, Hendra Hasibuan, mewakili berbagai DPW Sarekat Hijau Indonesia dalam Catatan Akhir Tahun 2025 yang diterima WahanaNews.co, Rabu (31/12/2025).
Dalam pernyataannya, SHI menegaskan bahwa rangkaian bencana ekologis yang terjadi sepanjang 2025 bukanlah musibah alam semata, melainkan produk kebijakan negara yang secara sadar melegalkan kerusakan lingkungan. Banjir bandang, longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan ekstrem, hingga runtuhnya sistem pangan lokal disebut sebagai akumulasi kejahatan ekologis.
Baca Juga:
Respons Keras Ketua Projo Darwis Zendrato ke Anggota DPRD Sumut soal "Nias Merdeka"
SHI menilai kondisi tersebut merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan yang mendorong deforestasi, ekspansi pertambangan, serta perkebunan skala besar. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia telah kehilangan lebih dari 30 juta hektare hutan alam sejak awal 1990-an. Dalam satu dekade terakhir, deforestasi masih terus berlangsung, terutama akibat ekspansi kelapa sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur berskala besar.
Temuan Auriga Nusantara menunjukkan bahwa sebagian besar deforestasi terjadi di dalam dan sekitar wilayah konsesi legal. Menurut SHI, fakta tersebut menegaskan bahwa kerusakan hutan tidak hanya terjadi akibat praktik ilegal, melainkan dilegalkan melalui kebijakan negara.
SHI juga menyoroti perubahan arah pembangunan nasional yang dinilai semakin menempatkan hutan sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai sistem penyangga kehidupan. Liberalisasi investasi dan sumber daya alam telah mendorong ekonomi ekstraktif yang rakus lahan, sehingga krisis ekologis berubah menjadi krisis struktural dan bencana menjadi keniscayaan.
Baca Juga:
Tanggapi Mensos, Denny Sumargo Nilai Penggalangan Dana Bencana Sebaiknya Berizin
Ekspansi perkebunan dan pertambangan disebut turut memicu perampasan ruang hidup rakyat secara massif. Konflik agraria dan ekologis meningkat seiring bertambahnya izin usaha. Masyarakat adat dan komunitas lokal kehilangan akses terhadap pangan, air, serta wilayah kelola tradisionalnya, dan dipaksa bergantung pada mekanisme pasar dengan harga pangan yang tidak adil.
Dalam catatan tersebut, SHI juga mengkritisi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dinilai memperparah krisis ekologis. Proyek food estate di Papua dan Kalimantan disebut membuka hutan dalam skala luas namun gagal memenuhi target produksi pangan. Pertambangan nikel di Sulawesi merusak pesisir dan mencemari sungai, sementara tambang batubara di Kalimantan meninggalkan ribuan lubang tambang yang membahayakan masyarakat. Kondisi serupa juga terjadi di Sumatera, Maluku, dan Papua.
Menurut SHI, PSN bukanlah proyek pembangunan, melainkan instrumen perampasan ruang hidup yang dilegalkan negara. Narasi kesejahteraan dinilai tidak sejalan dengan fakta kerusakan ekologis dan penderitaan masyarakat terdampak di lapangan.
Ironisnya, di tengah kerusakan yang meluas, negara dinilai minim tanggung jawab dalam penanganan pascabencana. Penanganan yang lamban dan tidak adil disebut sebagai bentuk nyata ketidakadilan ekologis di Indonesia.
Menutup Catatan Akhir Tahun 2025, Sarekat Hijau Indonesia menyerukan perubahan arah kebijakan secara radikal. SHI mendesak pemerintah menghentikan penerbitan izin baru pertambangan dan perkebunan sawit, mencabut izin bermasalah, bertanggung jawab atas pemulihan wilayah terdampak bencana, serta mewajibkan korporasi melakukan pemulihan ekologis secara nyata dan terukur.
"Bencana hari ini adalah dakwaan terhadap negara. Jika arah kebijakan tidak diubah, kehancuran ekologis Indonesia bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kejahatan yang sedang berlangsung," tegas SHI.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh DPW Sarekat Hijau Indonesia dari berbagai daerah, di antaranya Jawa Barat, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
[Redaktur: Muklis]