WahanaNews-Tapsel | Penindakan tentang pelanggaran lalu lintas di jalan raya, seperti penilangan, sering terjadi cekcok dalam proses penilangan antara pelanggar aturan dan kepolisian di jalanan dan pada beberapa kasus bahkan ada yang sampai berujung kekerasan verbal ataupun fisik.
Pemerhati transportasi Budiyanto mengatakan ini sebetulnya tak perlu terjadi jika kedua pihak paham dan mengerti atas hak dan kewajiban masing-masing.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
"Harus paham secara porporsionalitas, serta paham akan tugas dan kewenangan petugas Polantas di Jalan," kata Budiyanto dalam keterangan tertulisnya, dikutip kemarin.
Budi menjelaskan mengenai UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Pasal 13 huruf b. Di sana tertulis tugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum.
Kemudian dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009 Pasal
264 ditetapkan bahwa pemeriksaan kendaraan di Jalan dilakukan oleh:
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
a.Petugas Kepolisian Negara RI
b.Penyidik pegawai Negeri sipil.
Sedangkan Pasal 265 ayat ( 3 ) berbunyi 'Dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap pelanggaran lalu lintas, petugas Polri berwenang :
a. menghentikan kendaraan.
b. meminta keterangan kpd pengemudi dan/ atau
c. melakukan tindakan lain menurut hukum yg bertanggung jawab (dijabarkan dalam tugas - tugas diskresi atay melakukan penilaian sendiri untuk kepentingan umum).
"Termasuk kewenangan lain yang sampai dengan ditentukan dalam peraturan perundang - undangan, misal dalam menentukan pelanggar atau tersangka, penyitaan barang bukti dan lainnya," katanya.
Penyelesaian cekcok
Budiyanto mengatakan pada saat petugas melihat, mengetahui, dan mendapatkan pelanggaran lalu lintas. Petugas memiliki kewenangan menghentikan kendaraan kemudian memberi tahu kesalahan pengendara kendaraan bermotor lantas menentukan pelanggar akan ditilang atau tidak.
"Dari sinilah kadang-kadang timbul permasalahan apabila terjadi komunikasi kurang pas cekcok, caci maki, debat kusir, bahkan sampai terjadi pemukulan terhadap petugas dan lain - lain," ungkap Budiyanto.
Menurut dia pola komunikasi petugas dengan pelanggar perlu dibangun secara halus sehingga proses pemahaman pada kedua belah pihak bisa diterima.
Ia menekankan hindari tindakan kontraproduktif yang berakibat pada permasalahan hukum baru.
"Apabila pelanggar merasa tidak sependapat dengan tindakan hukum yang dilakukan, saya kira masih ada ruang untuk melakukan upaya hukum dengan cara Pra Peradilan," ucapnya.
Ia menambahkan dalam Pra Peradilan nanti pengadilan akan memeriksa dan memutuskan, apakah tindakan petugas sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak.
"Jadi permasalahan diharapkan diselesaikan melalui mekanisme hukum yang benar. Hindari tindakan atau perbuatan kontra produktif yang akan merugikan kita semua," kata Budiyanto. [rda]