TAPSEL.WAHANANEWS.CO, Madina- Sesaat pelantikan pejabat baru biasanya akan menetapkan program kerja 100 hari pertama. Secara normatif tidak ada ketentuan yang mengatur apalagi yang mengharuskan bagi pejabat baru untuk mengatur program kerja 100 hari.
Program keeja 100 hari adalah sebuah tradisi yang diyakini dapat menunjukkan komitmen dan kosistensi terutama bagi pejabat politik untuk menepati janji-janjinya ketika berkampanye.
Baca Juga:
KPAI Soroti Program Siswa Bermasalah di Barak Militer, Desak Dihentikan Sementara
Namun ada pendapat bahwa program kerja 100 hari tidak relevan lagi bagi presiden, gubernur dan bupati ketika telah sirumuskan rencana strategi berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) untuk pemerintah pusat dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk pemerintah provinsi dan kabupaten.
Pendapat ini juga mendasarkan pada pemikiran bahwa masa keeja pejabat politik biasanya 5 tahun atau kira-kira 1.825 hari sehingga tidak mungkin kinerjanya dapat diukur hanya dari 100 hari kerja di awal masa jabatan.
Lalu bagaimana untuk 1.725 hari berikutnya?
Baca Juga:
Wakil Bupati Toba Ajak Umat Katolik Jaga dan Rawat Bangunan Pemerintah
Memang benar, jika dilihat secara hitungan matematis, 100 hari itu tidaklah sebanding dengan 1.825 hari, karena memang tujuan dari program kerja 100 hari bukanlah untuk mengukur kebeehasilan seorang pejabat.
Namun tradisi menetapka program kerja 100 hari adalah benruk komitmen bagi pejabat baru untuj menuangkan gagasan yang telah dipikirkan sebelumnya.
Seorang calon pejabat biasanya memiliki semangat yang lebih kuat terhadap gagasan-gagasan baru yang dinilai lebih produktif dan efektif dibandingkan dengan gagasan-gagasan pejabat yang akan menggantikannya.