Ironisnya, di tengah kerusakan yang meluas, negara dinilai minim tanggung jawab dalam penanganan pascabencana. Penanganan yang lamban dan tidak adil disebut sebagai bentuk nyata ketidakadilan ekologis di Indonesia.
Menutup Catatan Akhir Tahun 2025, Sarekat Hijau Indonesia menyerukan perubahan arah kebijakan secara radikal. SHI mendesak pemerintah menghentikan penerbitan izin baru pertambangan dan perkebunan sawit, mencabut izin bermasalah, bertanggung jawab atas pemulihan wilayah terdampak bencana, serta mewajibkan korporasi melakukan pemulihan ekologis secara nyata dan terukur.
Baca Juga:
Respons Keras Ketua Projo Darwis Zendrato ke Anggota DPRD Sumut soal "Nias Merdeka"
"Bencana hari ini adalah dakwaan terhadap negara. Jika arah kebijakan tidak diubah, kehancuran ekologis Indonesia bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kejahatan yang sedang berlangsung," tegas SHI.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh DPW Sarekat Hijau Indonesia dari berbagai daerah, di antaranya Jawa Barat, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
[Redaktur: Muklis]